JAKARTA - Kepala Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) Unifah Rosyidi mengakui, program sertifikasi belum berhasil meningkatkan kualitas guru di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kesulitan melakukan pemetaan kondisi dan kinerja guru.
(cha/jpnn)
"Selama ini fungsi sertifikasi tersebut belum tampak. Sehingga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guru dilakukan pukul rata untuk seluruh kelompok. Tidak sesuai dengan kebutuhan guru sebenarnya,” ujar Unifiah di Jakarta, Minggu (20/2).
Unifiah menerangkan, program sertifikasi awalnya diperkirakan mampu meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru. Akan tetapi pada kenyataannya di lapangan tidak seperti sesuai harapan. Untuk itu, lanjut Unifiah, perlu ada kelanjutan penilaian guru dari waktu ke waktu untuk kepala sekolah dan pengawas sekolah. "Setiap kompetensi guru perlu dilihat. Kompetensi yang masih lemah harus diperkuat," katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih melakukan penelitian pengaruh sertifikasi terhadap kualitas guru. Pada kesimpulan awal, terang Sulistiyo, dengan program yang digulirkan sejam 2006 tersebut diprediksi dapat memberikan dampak peningkatan kinerja guru. Tapi, masih ada kelemahan sertifikasi. Yaitu sering terlambatnya pencairan tujangan profesi pendidik (TPP).
"PGRI berharap pemerintah tidak mudah menuding kinerja guru-guru penerima tujungan sertifikasi tetap tidak meningkat meski sudah menerima tunjungan," katanya.
Dilanjutkan Sulistiyo, kesimpulan awal tersebut didapatkan setelah melakukan survei kepada guru yang telah lulus sertifikasi. Total ada 840 guru dari 84 kabupaten dan kota di 21 provinsi yang di survei. Lebih dari setengah guru dinilai mengalami semangat dan upaya untuk meningkatkan kinerjanya sebagai pendidik.
TPP yang sering terlambat, ujar Ketua Komite III DPD ini, terjadi di kabupaten yang jauh dari pantauan dinas pendidikan ibu kota provinsi. Sekitar 97 persen guru yang berhak menerima TPP sebesar satu kali gaji pokok, menyatakan tidak pernah mendapatkan pembayaran tepat waktu.
"PGRI sangat prihatin dengan persoalan pencairan tujangan itu. Tidak pernah selesai. Ada guru yang mengatakan memperoleh tunjangan tersebut setiap tiga bulan sekali, ada juga yang enam bulan sekali. Bahkan ada yang menerima setahun sekali," tambahnya. Keluhan lainnya dalam proses pengucuran tunjangan profesi tersebut, kata Sulistiyo adalah, terjadinya pemotongan dalam pemberian tunjangan profesi.Sumber: JawaPos
(cha/jpnn)
"Selama ini fungsi sertifikasi tersebut belum tampak. Sehingga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guru dilakukan pukul rata untuk seluruh kelompok. Tidak sesuai dengan kebutuhan guru sebenarnya,” ujar Unifiah di Jakarta, Minggu (20/2).
Unifiah menerangkan, program sertifikasi awalnya diperkirakan mampu meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru. Akan tetapi pada kenyataannya di lapangan tidak seperti sesuai harapan. Untuk itu, lanjut Unifiah, perlu ada kelanjutan penilaian guru dari waktu ke waktu untuk kepala sekolah dan pengawas sekolah. "Setiap kompetensi guru perlu dilihat. Kompetensi yang masih lemah harus diperkuat," katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih melakukan penelitian pengaruh sertifikasi terhadap kualitas guru. Pada kesimpulan awal, terang Sulistiyo, dengan program yang digulirkan sejam 2006 tersebut diprediksi dapat memberikan dampak peningkatan kinerja guru. Tapi, masih ada kelemahan sertifikasi. Yaitu sering terlambatnya pencairan tujangan profesi pendidik (TPP).
"PGRI berharap pemerintah tidak mudah menuding kinerja guru-guru penerima tujungan sertifikasi tetap tidak meningkat meski sudah menerima tunjungan," katanya.
Dilanjutkan Sulistiyo, kesimpulan awal tersebut didapatkan setelah melakukan survei kepada guru yang telah lulus sertifikasi. Total ada 840 guru dari 84 kabupaten dan kota di 21 provinsi yang di survei. Lebih dari setengah guru dinilai mengalami semangat dan upaya untuk meningkatkan kinerjanya sebagai pendidik.
TPP yang sering terlambat, ujar Ketua Komite III DPD ini, terjadi di kabupaten yang jauh dari pantauan dinas pendidikan ibu kota provinsi. Sekitar 97 persen guru yang berhak menerima TPP sebesar satu kali gaji pokok, menyatakan tidak pernah mendapatkan pembayaran tepat waktu.
"PGRI sangat prihatin dengan persoalan pencairan tujangan itu. Tidak pernah selesai. Ada guru yang mengatakan memperoleh tunjangan tersebut setiap tiga bulan sekali, ada juga yang enam bulan sekali. Bahkan ada yang menerima setahun sekali," tambahnya. Keluhan lainnya dalam proses pengucuran tunjangan profesi tersebut, kata Sulistiyo adalah, terjadinya pemotongan dalam pemberian tunjangan profesi.Sumber: JawaPos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar